Mantra Jangjawokan Sunda: Ilmu Gaib dari Karuhun

Mantra berasal dari Bahasa Sansekerta dan berarti pengertian, teks suci, doa atau tukang doa, syair suci, dan ilmu gaib (Zoetmulder, 1982).

Mantra Jangjawokan Sunda

Adalah jenis puisi yang memiliki kekuatan gaib. Karuhun, atau orang-orang zaman dulu, mantra biasanya digunakan secara tidak sengaja, dan ada beberapa orang yang terus menggunakannya atau percaya pada kemistisannya. Mantra ini biasanya disebut sebagai jampi-jampi, yang terdiri dari pantun atau sisindiran, dan kawih, yang merupakan lagu.

_Mantra_Jangjawokan_Sunda | Ilmu_Gaib_dari-Karuhun_

Jangjawokan makna ajimantra yang berbeda. Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, yang ditulis pada tahun 1518 M, menggunakan istilah ajimantra; namun, tidak diketahui kapan istilah Jangjawokan digunakan.

Namun, di Urang Sunda Tradisional, istilah Jangjawokan atau ajian lebih sering digunakan daripada ajimantra, mungkin karena perbedaan makna antara kedua sebutan ini, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) sebagai eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).

Menurut penghayatnya/pelaku spiritual, mantra-mantra di daerah Sunda termasuk gendam, pelet, asihan, jangjawokan, singlar, parancah, ajian, rajah, kidung (bermacam-macam seperti Artati, Salamet, Siliwangi/Pakuan, Saripanggung, panundung), teluh, pamuradan, piburungan/piwurungan, pipahokan, halimunan, pileumpeuhan, pangabaran, jampe, wijaya, dan tumbal.

Mantra berikut termasuk dalam kategori ini:

  • Asihan digunakan untuk menguasai orang lain agar tampak menarik dan dicintai.

  • Jangjawokan adalah cara untuk melakukan sesuatu agar selamat.

  • Ajian dipakai untuk kekuatan lahir maupun batin.

  • Singlar digunakan untuk mencegah roh halus mengganggu.

  • Rajah digunakan untuk membuka hutan, memasuki hutan, dan membangun rumah untuk menaklukkan iblis.

  • Jampe digunakan sebagai obat (1970)

Mantra-Mantra mencatat sejarah agama, seni, budaya, dan filsafat masyarakatnya

Karena mantra diciptakan secara misterius, gambaran keagamaan masyarakat penciptanya sangat dominan dalam mantra. Mantra yang menyebutkan kakek nenek menunjukkan kepercayaan atau keagamaan, seperti Nini Korojok Koeong Aki Korojok Kosong, Nini Bagawat Hyang Sri Aki Bagawat Hyang Sri, Nini Untang-Untang Aki Untang-Untang, dan sebagainya.

Seruan kepada penguasa setempat

Sebagai contoh, mengucapkan salam kepada para penguasa lokal, misalnya: "Nu calik di gunung Manik, nu calik di wetan Sang Ratu Giling putih, nu calik di kaler Sang Ratu Inten putih, Sang Ratu Bebeng Lempeng, Sang Ratu Umpak-Umpakan,"

Seruan kepada kepercayaan Sunda lama

Seperti Sang Rumuhun, sunan Ambu Ratnararang, pohaci Lakea Larang, pohaci Mayasari, pohaci Langgeng Sari, pohaci Lugas putih, pohaci permu putih, pohaci Genclang Herang, pohaci Teteg Ireng, pohaci Rangga Seah, dan sebagainya.

Seruan yang berasal dari agama Hindu atau Buddha

Seperti Ong, Ahung, Hong, Batara, Safari, Dewa Dewa Sang Jagat Pratingkah, dan sebagainya.

Seruan yang berasal dari agama Islam

Termasuk seruan kepada Allah, nama malaikat, nabi, wali, petikan Al Qur'an, dan kalimat suci, serta menyebut ratu, menak, resi, pandita, guru, panghulu, dan nama-nama tempat seperti Cisadane, Cihaliwung, Mataram, Pakuan, Cirebon Girang, dll.

Penyebutan tentang binatang seperti maung, ungkut-ungkut, banteng lilin, atau nama tumbuhan seperti solasih, sembung, gadung, dll. Nama-nama manusia, tempat, binatang, dan tumbuhan, serta fungsi irama dan estetika bunyi, tampaknya memiliki latar belakang dan tujuan tertentu.

Mantra yang berasal dari kitab ajaran agama atau keagamaan. Salah satu contohnya adalah mantra pengurung hujan diambil dari surat Al-Fiil, yang ditemukan di Kabupaten Bandung, atau pekasih, yang diambil dari surat Yusuf, dan lainnya, yang keduanya berasal dari Qur'an. Tarekat Adam dalam punika Kitab Tarekat adalah sumber Kidung Salamet, yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat.

Posting Komentar

0 Komentar